SUKABUMITREN.COM - Libur panjang akhir tahun 2024 akan segera tiba. Dulu, kala jalan tol belum melintasi Pantai Utara Jawa (Pantura) di wilayah Subang dan Indramayu, perjalanan dari Jakarta-Cirebon pulang pergi (PP) pun biasa ditempuh dengan melintasi jembatan yang namanya sudah sangat melegenda, yakni Jembatan Sewo.
Jembatan ini terletak di perbatasan Kabupaten Subang dan Kabupaten Indramayu. Di Kabupaten Subang, jembatan ini masuk wilayah Kampung Sewo, Desa Karang Anyar, Kecamatan Pusaka Jaya. Sedangkan di Kabupaten Indramayu, jembatan ini masuk wilayah Desa Sukra, Kecamatan Sukra.
Jembatan Sewo terletak di perbatasan Subang-Indramayu
Baca juga: Lomba “Kiddies Wanna Be 2024” Sukses Digelar di Bandung, Simak Nama-Nama Pemenangnya
Walau berbeda wilayah administratif, namun ada kebiasaan yang sama dari warga di kedua kampung itu, yakni berdiri di tepian jalan dengan membawa sapu lidi di tangan. Tujuannya, bukan untuk bersih-bersih jalan, melainkan guna menyapu koin atau lembaran uang yang dilemparkan pengguna jalan.
Biasanya, para warga dari beragam golongan usia itu, akan meminta pengemudi yang melintas untuk melemparkan uang bagi mereka. Kebiasaan ini telah berlangsung sangat lama, sehingga sudah dianggap tradisi oleh warga kedua desa itu. Jembatan Sewo pun seakan berubah fungsi. Bukan lagi sekadar sarana transportasi darat semata, namun juga menjadi “panggung” bagi warga untuk meraup rupiah.
Baca juga: Info Lowongan Kerja Update ke 39
Para warga ini rela berpanas-panasan seharian, sambil berdiri atau duduk di sepanjang jembatan. Sebab, dengan cara itulah, penghasilan keseharian pun bisa mereka dapatkan. Bahwa para warga ini akhirnya bisa memiliki tradisi begitu, ternyata ada kisah bernuansa mistis yang melatarbelakanginya.
Warga punya tradisi menyapu uang dari pengguna jalan
Ceritanya, ada dua kakak beradik bernama Saedah dan Saeni, yang semasa hidupnya sangat miskin, sehingga terpaksa mencari nafkah di Jembatan Sewo dengan bermain tari ronggeng. Saedah berperan selaku penabuh gendang, dan Saeni sebagai penarinya.
Naas menyertai kakak-beradik itu pada sebuah hari. Keduanya meninggal tertabrak kendaraan di jembatan itu. Warga setempat kemudian meyakini, arwah kakak-adik ini menghantui lokasi itu hingga kini. Keyakinan itu diperkuat dengan terjadinya petaka pada 11 Maret 1974 di jembatan ini.
Bus pembawa rombongan transmigran asal Boyolali tergelincir dan terbakar di Kali Sewo, menyebabkan 67 orang meninggal dunia. Kecelakaan ini semakin meletupkan kepercayaan di kalangan warga, bahwa “dalang” di balik musibah itu adalah “hantu” Saedah dan Saeni. Maka, demi mencegah terulangnya peristiwa serupa, warga meminta pengendara untuk melemparkan uang saat melintasi jalur maut ini.
Tradisi warga berlatar kisah Saedah dan Saeni
Baca juga: 10 Hari Pasca Terdampak Pergerakan Tanah, Warga Desa Neglasari Sukabumi Minta Segera Direlokasi
Kisah “Saidah-Saeni di Jembatan Sewo” itu sangat dikenal di Pesisir Utara Jawa Barat, yang membentang mulai Cirebon hingga Karawang. Berkat kisah itu, para pengendara yang percaya pun menjadi “ikhlas” melakukan ritual lempar uang bagi arwah Saedah dan Saeni saat sedang melintasi jembatan itu, demi keperluan keamanan dan keselamatan perjalanannya.
Kini, manfaat nyata dari ritual melempar uang itu tentu lebih dinikmati warga setempat, ketimbang oleh “Saedah dan Saeni”. Banyak di antara warga telah menjadikan kegiatan menyapu uang itu sebagai mata pencaharian hingga puluhan tahun lamanya. Maklum, pendapatan yang diperoleh menggiurkan. Sebab, bukan sekali dua, ada pengendara yang juga melemparkan uang kertas dengan pecahan besar.
Tradisi ini menjadi mata pencaharian warga
Baca juga: Info Lowongan Kerja Update ke 38
Wajar, bila ada warga yang mengaku bisa mendapat uang sekitar Rp 50.000 per hari dan bahkan lebih, saat jembatan ini ramai dilintasi pemudik menjelang dan setelah libur panjang, sebagaimana akan berlangsung pada akhir tahun 2024 ini.
Di tengah hiruk-pikuk kepadatan lalulintas macam itu, adakah yang masih peduli pada sosok “Saedah dan Saeni”? (*)