SUKABUMITREN.COM - Sebutlah odading, maka hampir pasti tiada satu pun warga Jawa Barat yang menggeleng tanda tak tahu soal nama itu. Bisa begitu, karena hampir pasti pula, tidak ada satu pun warga di Jawa Barat yang belum pernah menyantapnya. Ya, odading adalah nama khas untuk sejenis roti, yang cara bikinnya pun khas: harus digoreng dan bukan di-oven layaknya roti pada umumnya.
Bentuknya yang mirip bantal, membuat odading disebut kue bantal oleh warga di Jakarta. Di Semarang, warga menyebutnya bolang-baling. Di Yogyakarta, sebutannya adalah galundeng. Di Magelang dinamai gondang-gandung. Sedangkan di Medan dan Banjarmasin, terkenal dengan sebutan kue bohong dan kue untuk-untuk.
Lain kota, lain pula nama penganan ini
Baca juga: Odading: Viral kala Pandemi, Enak Pula Dibikin Sendiri
Bahwa penganan ini sampai punya beragam nama seperti itu, menunjukkan jati diri odading sebenarnya sebagai kuliner yang punya riwayat sejarah sangat panjang di negara ini. Majalah Mangle edisi Juli 1965 pun telah mengulas khusus sejarah odading, dalam kolom “Unak Anik”, atau “Asal-Usul”. Artinya, hampir 50 tahun lalu, warga Jawa Barat sudah mengenal, dan tentunya juga telah menyantap, odading.
Majalah Mangle kala itu menulis, keterkenalan nama odading bermula saat sebuah keluarga Belanda di Tatar Sunda mengadakan Pesta Natal, dengan menghidangkan beragam makanan dan juga kue-kue.
Baca juga: Lowongan Kerja bagi Warga Sukabumi Update ke 10
Seusai pesta, keluarga Belanda itu membekali pembantunya yang hendak pulang ke rumahnya, dengan oleh-oleh berupa aneka macam kue. Diantara oleh-oleh itu, ada satu jenis kue yang paling enak, tetapi pembantu ini tidak tahu nama kue itu.
Ketika kembali bekerja, pembantu ini kemudian memberanikan diri untuk meminta kue itu ke majikannya. Sang majikan yang baik hati, meluluskan permintaan itu, dan meminta pembantu ini mengambil kue yang diinginkannya tersebut.
Begitu kue itu dipilih pembantunya ini, majikan itu sontak berkata dalam Bahasa Belanda, “O dat ding”, yang artinya: “Oh barang itu”. Ucapan ini lalu dimaknai pembantu itu sebagai nama kue yang dipilihnya tersebut, yakni “odading”. Sejak itu, nama odading melegenda hingga hari ini.
Sejarah odading di Majalah Mangle edisi Juli 1965
Cerita yang kurang lebih sama perihal asal-muasal nama odading, juga berkaitan dengan satu keluarga Belanda pada masa kolonial dulu. Kabarnya, pada suatu hari, anak keluarga Belanda itu meminta ibunya untuk membelikannya kue, yang kerap dilihatnya dibeli oleh anak-anak kampung.
Baca juga: Lowongan Kerja bagi Warga Sukabumi Update ke 9
Anak itu kemudian menunjuk-nunjuk pedagang penjual kue yang diinginkannya itu. Begitu pedagang ini dipanggil oleh ibu anak itu, dan diminta membuka dagangannya yang ditutupi daun pisang tersebut, ibu ini kontan berucap, “O dat ding”, yang artinya tiada lain adalah, “Oh, barang itu”.
Alhasil, nama kue yang digoreng ini kemudian dikenal dengan sebutan odading.
Ilustrasi pedagang kue pada era kolonial dulu
Baca juga: Peringati Hari Sumpah Pemuda ke-96, Forkopimcam Cibadak Gelar Upacara di SMKN Pertanian Sukabumi
Bila menilik dua cerita tadi, maka dapat dipetik kesimpulan, bahwa benar ternyata: usia odading sudah sangat tua. Penganan ini sudah dikenal lama oleh warga Belanda, seperti terlihat di cerita pertama. Atau bahkan asli racikan warga Nusantara, sebagaimana terlihat di cerita kedua.
Mana yang benar, mungkin bukan “sesuatu” yang harus dipusingkan, karena odading itu nikmat untuk dimakan, alias bukan untuk diperdebatkan. Kenikmatan rasanya itu pula yang membuat odading terbukti mampu melampaui banyak era, mulai dari masa kolonial hingga zaman digital di Indonesia.
Odading, sukses melampaui banyak masa
Baca juga: Lomba Pustaka Sambut Bulan Bahasa dan Hari Sumpah Pemuda, SMKN 1 Cibadak Sukabumi Borong Gelar Juara
Pada zaman terakhir ini, antara lain lahir sekelompok orang yang biasa disebut sebagai “kaum mendang-mending”. Sebutan itu merujuk pada orang yang selalu membanding-bandingkan banyak hal. Diantara “kaum” itu, tentu ada yang pernah atau malah menggemari odading.
Karena rasanya enak, harganya murah, sehingga bisa dibeli dalam jumlah banyak, dan pasti langsung disambut dengan meriah, maka, “Ya, mending makan odading saja...!!!” (*)