SUKABUMITREN.COM - Sebuah pemeran bertajuk “Rocking Indonesia, The Cultural Legacy of The Rolling Stones in Bandung” dihelat pada 30 Agustus-28 Oktober 2024 di TheCube Project Space, Taipei. Bertindak sebagai kurator dalam pameran ini, adalah “anak” Cimahi bernama Muhammad Irfan, yang kini tengah bermukim di Hsinchu, guna keperluan studi di National Yang Ming Chiao Tung University, Taiwan.
Seiring dengan publikasi atas pelaksanaan pameran itu, bisa jadi kini banyak warga Bandung bertanya, “Naha kedah” atau kenapa harus (The Rolling) Stones? Irfan, selaku kurator yang tamatkan kuliah dan pernah kerja sebagai jurnalis di Bandung, punya jawaban detail.
Muhammad Irfan, kurator pameran
Dikutip dari satu perbincangan dengan Penulis, Irfan mengungkapkan, bahwa pada titik tertentu, musik tidak hanya hadir dengan aliran melodinya, namun juga dengan gambaran visual dan imajinasi, yang terjalin dengan karakter, persona, dan bersumber dari masyarakat.
“Musik bertransformasi menjadi lebih dari sekadar hiburan santai, namun dianggap mewakili dan menjadi bagian dari penonton atau pendengarnya,” kata Irfan.
Baca juga: Tunaikan Ibadah Jumat di Lokasi Indah, Unik, dan Ikonik: Masjid Sri Soewarto Cicurug Sukabumi
Konsep “Rocking Indonesia”, menurut Irfan, muncul melalui deskripsi ini, dengan menjadikan Bandung sebagai titik fokusnya, serta The Rolling Stones sebagai subyeknya. Bahwa Bandung akhirnya dipilih, menurut Irfan, karena dirinya yakin: identitas sebuah kota akan sangat mempengaruhi kehidupan sosial komunitasnya, yang selanjutnya berdampak pada respons artistik para penciptanya, dalam hal ini musik.
“Lahir sebagai kota kosmopolitan, Bandung, dengan segala keunikannya, menjadi ajang pertarungan ide dari ribuan halaman yang dibaca, ribuan nada yang diputar, ribuan durasi film yang ditonton, dan lapisan 'isme' dari berbagai penjuru dunia, yang dikaji. diperdebatkan, atau hanya dirasakan di permukaan, sehingga mempengaruhi kehidupan sehari-hari kota ini,” tutur Irfan.
Beragam produk media dan budaya terkait The Rolling Stones
Baca juga: Wafat Dalam Usia 65 Tahun, Jenazah Ekonom Senior Faisal Basri Dimakamkan Kamis Siang ini
Bila kemudian keunikan itu dipertemukan dalam konteks musik, yakni The Rolling Stones, maka Irfan melihat, bahwa di Bandung, The Rolling Stones telah menjadi lebih dari sekadar band asal Inggris yang beranggotakan Mick Jagger, Keith Richards, Charlie Watts, Ronnie Wood, dan (jika cukup eksentrik pasti tidak akan melupakan Brian Jones).
Band ini telah menjadi bahasa gaul, simbol “kekerenan baru” selama beberapa dekade, menggeneralisasi musik rock Barat, sekaligus menjadi bagian dari rock lokal. The Rolling Stones juga telah diartikan sebagai “tangguh”, “tak terkendali”, dan “berbahaya”, yang tidak hanya diterapkan pada musik, tetapi juga pada sepakbola, kekerasan jalanan, kerentanan lingkungan, dan bahkan makanan.
Menurut Irfan, tidak perlu hafal ratusan katalog The Rolling Stones untuk melampirkan kata “Jagger” atau logo ikonik bibir dan lidahnya, karena sosoknya telah menjadi budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Nama “Jagger” pun akhirnya diartikan sebagai “penjahat” atau “pengacau”, dan orang-orang dengan kecenderungan seperti itu dijuluki “Jagger”. Pada perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus, band-band di kampung-kampung pun kerap terintimidasi dengan teriakan yel-yel seperti “A, Setun A!”, yang bisa diartikan dengan permintaan: “Kang, jangan putar lagu-lagu Barat. Mainkan saja lagu-lagu Stones”.
Lucunya, penonton akan tetap menari, meski pemainnya memainkan lagu rock Barat lainnya yang bukan milik The Rolling Stones. “Inilah yang saya maksud dengan menjadi generalisasi musik rock Barat, sekaligus menjadi bagian dari rock lokal,” ungkap Irfan.
Logo ikonik bibir dan lidah khas The Rolling Stones
Uniknya, tambah Irfan, The Rolling Stones juga identik dengan para warga di gang-gang sempit Kota Bandung, yang padat penduduk dengan berbagai permasalahan sosial. “Merujuk pada fakta ini, melalui Rocking Indonesia, saya bermaksud membawa vibrasi The Rolling Stones di Bandung ke ruang pameran di TheCube Project Space, Taipei,” ujar Irfan.
Baca juga: Ungkap Kasus Kekerasan Terhadap Anak, 23 Anggota Polres Sukabumi Diganjar Penghargaan
“Dengan menggabungkan pameran arsip, visual, dan seni suara ini, saya ingin mengajak pengunjung untuk memahami dan merasakan bagaimana The Rolling Stones, sebagai produk budaya Barat, bertransformasi dalam kehidupan lokal Bandung, Indonesia, dan menjadi contoh hubungan antara musik dan audiensnya,” jelas Irfan pula.
Irfan bersama pengunjung pameran
Dalam pameran ini, arsip-arsip yang dipamerkan sebagian besar berasal dari Majalah Aktuil edisi 1967-1986. Majalah musik populer terbitan Bandung ini, menurut Irfan, telah menjadi katalis dan propaganda budaya pop Barat di Indonesia paska tahun 1965.
“Melalui Aktuil, saya ingin menunjukkan, bagaimana media menggambarkan The Rolling Stones, terutama ikonis Mick Jagger dan Keith Richards, secara hiperbolis. Tidak hanya dalam musik, tetapi juga dalam gaya hidup yang terkait dengan kredo seks, narkoba, dan rock ‘n roll,” urai Irfan.
Koleksi literasi yang dihadirkan di pameran
Tak hanya Aktuil, pameran ini juga akan menghadirkan beberapa arsip kaset, piringan hitam, dan mixtape digital koleksi Irama Nusantara, sebuah kelompok pengarsip musik asal Indonesia. Ada juga kolase video yang menggambarkan interpretasi masyarakat Bandung terhadap The Rolling Stones, yang berkembang seiring berjalannya waktu.
“Pada akhir September, saya juga akan mengundang Wawan Christiawan, penggemar Rolling Stones, artis senior live performance, untuk menampilkan interpretasinya terhadap fenomena tersebut. Saya juga mengundang Rama Saputra dan Mufti “Amenk” Priyanka, untuk mengabadikan lingkungan di Bandung melalui soundscape dan sketsa visual,” tutur Irfan, yang khusus mendedikasikan pameran ini bagi Amenk, yang meninggal dunia pada 7 Juni 2024 di Bandung karena sakit, saat tengah serius mempersiapkan pameran ini.
Almarhum Mufti "Amenk" Priyanka
“Ini (memang) hanya (mengenai) rock 'n roll. Tapi, kami menyukainya,” ucap Irfan. “Saya ingin menunjukkan, bagaimana imajinasi rock 'n roll ini (akhirnya bisa) dibawa ke masyarakat melalui pahlawan lokal, seperti Deddy Stanzah dengan The Rollies dan Superkid, yang kemudian dianggap sebagai Mick Jagger versi lokal yang ideal. Ini menjadikannya ‘Mick Jagger di antara kita’, dan citranya kemudian ditiru oleh penggemar sebagai bentuk baru The Rolling Stones yang mereka kenal,” tambah Irfan.
Baca juga: Upacara Peringatan HUT Polwan ke-76 di Polres Sukabumi, AKBP Samian: “Tugas Polisi Wanita itu Berat”
Mick Jagger, yang kini telah berusia 81 tahun, mungkin bakal terpukau bila mendengar paparan “anak” Cimahi ini, yang kini tengah menggelar pameran “The Cultural Legacy of The Rolling Stones in Bandung” di TheCube Project Space, Taipei. (*)