SUKABUMITREN.COM - Hari ini, 19 Juli, lima tahun yang lalu, Arswendo Atmowiloto, atau akrab disapa Mas Wendo, berpulang ke Haribaan Sang Pencipta. Walau kepergian untuk selamanya itu lebih dahulu disertai dengan sakitnya Mas Wendo, tetap saja kepedihan luar biasa dialami oleh siapa pun yang pernah mengenal dekat dan juga bekerja bersama Almarhum.
Jurnalis, penulis banyak buku, dan pendiri sejumlah media cetak ternama ini lahir di Solo, 26 November 1948. Wafat dalam usia 70 tahun pada 19 Juli 2019, tangan dingin Mas Wendo telah menginspirasi banyak orang dan anak didiknya untuk tidak ragu menekuni dunia jurnalistik dan tulis-menulis.
Baca juga: Mengenang Monitor, Ikon Pelopor Tabloid Hiburan Tanah Air
Demi mengenang jasa Sang Guru itu pula, para anak didik ini kemudian menginisiasi terlaksananya acara bertema “Tribute to Arswendo Atmowiloto” pada Sabtu malam, 30 November 2019, di Grha Muncul Mekar, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Nama gedung milik produsen jamu, PT Sido Muncul, itu, konon juga diberikan oleh Mas Wendo.
Sabtu malam itu, di bawah terpaan hujan yang turun dengan luar biasa lebat, satu demi satu sosok anak didik Mas Wendo datang meramaikan acara “tribute” tersebut. Hadir pula keluarga dan para sahabat Mas Wendo.
Masih tersimpan benar dalam ingatan Penulis, suasana “asyik” yang tercipta secara alamiah pada malam yang meriah itu.
Ada Butet Kartaredjasa, Slamet Rahardjo Jarot, Reny Djajoesmaan, Dian Piesesha, Maudy Koesnaedi, Sandy Nayoan, Romo Mudji Sutrisno, Efix Mulyadi, Sonny Tulung, serta sejumlah jurnalis yang pernah menjadi anak buah Mas Wendo, yang saat itu telah menyebar dan menjadi petinggi di berbagai media cetak, elektronik, dan juga online.
Satu demi satu dari mereka tampil menyampaikan kenangannya berinteraksi dengan Mas Wendo semasa bersama dulu, dalam acara yang dipandu oleh host terkenal, Sonny Tulung, tersebut.
Jodhi Yudono, salah satu mantan rekan kerja Mas Wendo, yang malam itu tampil menyanyikan puisi ciptaannya, mengatakan, “Kami pernah dididik, diasuh, dan jadi bagian hidup Mas Wendo, merasa spirit yang diwariskan Beliau harus tetap dijaga.”
Ucapan senada disampaikan Ricke Senduk. Ketua Panitia “Tribute to Arswendo Atmowiloto” ini, dalam sambutannya mengungkapkan, karya-karya Mas Wendo membuatnya layak untuk selalu dikenang oleh siapa saja yang mengenal dan dekat dengan Mas Wendo.
Kenangan itu pula yang kemudian disajikan secara berturutan di acara ini, melalui pembacaan buku "Mengarang itu Gampang" oleh Hanan Farhan Sani, "Canting" oleh Renny Djajoesman, serta fragmentasi "Kiki dan Komplotannya" oleh Btari Chinta.
Tak ketinggalan, penyanyi melankolis Dian Piesesha turut menyumbangkan suara merdunya lewat lagu "Tak Ingin Sendiri", yang merupakan lagu favorit Mas Wendo.
Kemudian, Maudy Koesnaedi ikut tampil pula menyampaikan testimoni perjalanan keartisannya yang “moncer”, antara lain berkat jasa Mas Wendo.
Selanjutnya, ada pula kisah yang diungkapkan tokoh perfilman nasional, Slamet Rahardjo Djarot, tentang kedekatannya dengan Mas Wendo.
Kisah yang tak kalah seru juga diutarakan aktor Sandy Nayoan, perihal pertemuannya dengan Mas Wendo, demi peran sebagai Atmo dalam serial "Menghitung Hari". Berkat serial itu pula, Sandy bisa menirukan dengan sangat pas gaya bicara dan guyon Mas Wendo.
Patut pula diingat penuturan Romo FX Mudji Sutrisno, yang malam itu khusus membahas "Barnabas", karya terakhir Mas Wendo menjelang meninggalnya.
Juga, cerita Butet Kertaredjasa, yang berkat Mas Wendo, bisa mengenal yang namanya teater, hidup dari teater, belajar menulis, dan kini bisa menjadi seniman ternama.
Cerita tak kalah menarik juga dikisahkan Adrian Herlambang. Sosok di balik kesuksesan bisnis Tabloid Monitor ini bercerita tentang kesuksesan tabloid yang tiada duanya di Tanah Air itu, dari awal hingga akhir, berkat racikan ide Mas Wendo.
Di akhir acara, keluarga Mas Wendo pun tampil bernyanyi bersama seluruh panitia dan pengisi acara. Salah satu cucu Mas Wendo yang bernama Kania, pada kesempatan itu membacakan puisi yang khusus ditulisnya saat ulang tahun mendiang kakeknya tersebut.
“Tribute To Arswendo Atmowiloto” adalah kerja keroyokan, gotong royong, sukarela tanpa dibayar, dari kawan dan sahabat, yang dahulu pernah menjadi mitra kerja di berbagai majalah dan tabloid pimpinan Mas Wendo.
Posisi kerja mereka dulu beragam: dari Pimpinan Umum, Pemimpin Redaksi, Wartawan, Fotografer, Disainer Grafis, Pelukis, Karikaturis, sampai Sekretaris.
Penulis pun merasa bersyukur bisa turut terlibat dalam acara ini, dengan membantu dalam pengadaan arsip dan dokumentasi media cetak yang pernah dirintis dan dikelola oleh Mas Wendo, seperti Tabloid Monitor, Majalah Midi, Majalah Hai, Majalah Senang, Tabloid Dangdut, Tabloid Citra, Tabloid Citra Musik, Majalah Kawanku, Tabloid Bintang Indonesia, dan surat kabar berbahasa Jawa: Dharma Kanda.
Surat Kabar terbitan Surakarta pada tahun 1970 ini, merupakan media pertama Mas Wendo dalam karier jurnalistiknya.
Semoga, kelak, akan ada lagi “tribute-tribute” berikutnya, karena sosok sekaliber Mas Wendo memang sudah sepatutnya untuk selalu di-tribute-kan. (*)