SUKABUMITREN.COM - Pada sebuah sore, di bilangan Jakarta Selatan, aku terlibat obrolan serius tapi santai seputar teh dengan Satria Gunawan. Pemilik House of Tea (HoT) yang akrab disapa Pak Gun ini, saat itu dengan sangat antusias bercerita mengenai sejarah, jenis, cara pengolahan, hingga khasiat teh.
Beliau juga membeberkan suka-duka menjadi petani, sekaligus pembina para petani teh. “Semua ini didasari kecintaan saya pada teh, dan keinginan untuk menyejahterakan petani, dengan mempromosikan teh Indonesia, agar dikenal dunia,” paparnya.
Baca juga: Angga Ardiansyah, Raja Kopi Sukabumi
Obrolan itu membuka cakrawala baru bagiku, yang selama ini mengenal teh sebatas teh yang beredar di pasaran, dengan rasa dan aroma yang hampir sama, yakni sepet atau pahit, plus aroma bunga melati yang kuat.
Dan sangat nikmat bila diminum dalam kondisi sedikit panas serta manis, alias nasgitel (panas, legi, kentel). Karena nikmatnya nasgitel, teman kuliahku menjuluki minuman ini sebagai King of Drink.
Dari pemaparan Pak Gun, aku jadi tahu, bahwa teh yang beredar di pasaran bisa digolongkan menjadi dua jenis teh, yakni yang diproduksi secara massal, dan artisan tea atau teh premium.
Untuk menghasilkan teh yang siap sedu, dibutuhkan waktu yang lama. Ada rantai produksi yang harus dicermati, mulai dari penanaman, pemeliharaan, cara pemanenan, hingga pengeringan, untuk menciptakan teh berkualitas.
Walau jenis tanamannya sama, namun beda daerahnya, beda proses panennya, beda pula teh yang dihasilkan. Mirip dengan yang terjadi pada industri kopi.
Baca juga: Rutin Ngopi Tiap Hari? Ini Dampak Bagus dan Buruknya Bagi Kesehatan Tubuh
Obrolan dengan Pak Gun itu memberikan pencerahan dalam diriku, untuk memulai kembali menghidupkan usaha kedai “Kopi Pakde”, yang tutup akibat imbas pandemi Covid 19, dengan menambah menu teh, atau khusus menyajikan menu teh.
Ya, selepas bekerja di pelbagai media, aku memang memutuskan untuk mandiri, dengan membuka kedai kopi di bilangan BSD Serpong. Sebelum membuka kedai, biar mantab, aku ikut kursus kilat sebagai barista, serta rajin menambah pengetahuan seputar kopi, mulai dari pra panen hingga paska panen.
Nah, setelah merasa sedikit paham, dan ada modal, maka pada sekitar tahun 2016 berdirilah Kedai “Kopi Pakde”, dengan konsep menggabungkan kedai kopi dan ruang baca. Koleksi buku yang selama ini menggeletak tak tersentuh, kembali ditata rapi, dengan harapan: sambil ngopi baca buku. Motonya: Kopi Jendela Hati, Buku Jendela Dunia. Mantab kan!
Kenapa kedai kopi? Saat itu, sekitar tahun 2015-2016, usaha minuman dengan basis kopi mulai menggeliat. Bahkan, saat itu, sempat viral es kopi susu gula aren, yang pembelinya antri dan mengular. Kesuksesan menu ini, memicu banyak orang untuk membuka usaha minuman kopi kekinian.
Keberadaan “Kopi Pakde” pun lambat laun kian dikenal, bahkan sempat menjadi tempat nongkrong bapak bapak pecinta touring, Dalam perjalanannya, persaingan kedai kopi kian keras. Hampir tiap bulan muncul kedai kopi baru, dan biasanya dengan menu yang hampir sama, dan tak jarang dengan kapital yang besar,
Pada saat yang sama, sewa tempat pun tiap tahun naik. Dan, akhirnya, kondisi usaha pun terpukul dengan sangat hebat, ketika pada 2020 terjadi wabah pandemi covid 19, yang ditandai oleh pembatasan sosial berskala besar (PSBB), serta pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Hampir semua sektor bisnis terimbas, termasuk “Kopi Pakde” yang akhirnya harus tutup.
Ah, sudahlah, kenapa mesti membahas kegagalan usaha? Lebih baik kembali ngobrol soal teh.
Ingatanku pun kembali ke obrolan dengan Pak Gun. Saat ini, seiring geliat dan maraknya industri perkopian, telah memicu pecinta teh untuk juga berusaha mempopulerkan produk teh Indonesia. Sama seperti kopi, di Indonesia banyak perkebunan teh yang mampu menghasilkan teh berkualitas. Terutama di daerah Sumatra dan Jawa.
Terngiang kembali penuturan Pak Gun, “Perkebunan teh di Indonesia sangat luas. Tapi, produknya belum banyak dikenal di dunia. Itu tantangan kami, yang bergelut di industri teh, Nah, untuk menaikkan kualitas dan memasarkannya ke luar negeri, kami terjun langsung membina para petani. Awalnya susah karena sudah kebiasaan. Tapi, pelan-pelan, mereka mengerti, sehingga selain jumlah panenan meningkat, kualitasnya pun meningkat. Secara perlahan tapi pasti, hasil panen dari petani binaan kami sudah mulai diminati pasar luar negeri. Alhamdulilah.”
Tantangan berikut, kata Beliau, adalah mempopuler produk artisan tea atau teh premium kepada masyarakat umum. “Kenapa mesti artisan tea? Karena dari rasa, aroma, dan khasiat teh yang sebenarnya, ada di teh jenis ini. Dan, saya jamin, sekali mencoba akan ketagihan,” ucapnya berpromosi, sambil menyedu teh kuning, yang dihasilkan dari teh jenis Camellia Sinensis Assamica, yang pohonnya berasal dari Sri Lanka.
Dan, ketika aku menikmatinya, anganku dibawa ke sebuah kenangan pada beberapa puluh tahun silam, saat diajak artis Marissa Haque ke Negeri Tirai Bambu, China, untuk meliput sinetron produksinya yang berjudul “Kembang Setaman”.
Apa itu Camellia Sinensi Assamica? Apa ada hubungannya dengan lagunya Ebiet G Ade? Tunggu cerita seputar teh selanjutnya, karena di dalam secangkir teh, ada banyak cerita di baliknya. Salam sepet teh.
*) Adi Pamungkas, penikmat teh Indonesia