SUKABUMITREN.COM - Cimahi sebagai Kota Tentara, lumayan punya nama. Berasal dari kata dalam Bahasa Sunda: “cai mahi” atau “air yang cukup”, ada banyak pusat pendidikan (pusdik) dan markas tentara di kota yang resmi berdiri pada 21 Juni 2021 ini. Sebelumnya, kota seluas 40,2 kilometer persegi ini merupakan bagian dari Kabupaten Bandung, dan menjadi Kota Administratif pada 29 Januari 1976.
Cimahi memiliki tiga Kecamatan dan 13 Kelurahan. Pada 2020, populasi di kota ini mencapai jumlah 560.512 orang, dengan tingkat kepadatan sebanyak 13.850 orang per kilometer persegi. Cukup tinggi, antara lain karena banyaknya pendatang di kota ini, baik untuk keperluan pendidikan sebagai tentara dan mahasiswa, maupun membuka usaha sebagai seorang perantauan.
Baca juga: Akhir Pekan di Pantai Citepus Palabuhanratu: Menikmati Debur Ombak dan Ikan Layur Bakar Pak Aji
Salah seorang diantara perantau tersebut adalah Kardi, asal Torjun, Sampang, Madura. Kini berusia 45 tahun, bapak dua anak ini mengaku merantau ke Cimahi pada 1998, dan menetap di Kalidam. Ia pernah pula merantau ke Solo dan Malang. “Tapi, akhirnya lebih senang (tinggal) di Cimahi, karena jauh dari kampung, sehingga tidak harus sering-sering pulang,” ucap Kardi.
Berbekal keahlian dan pengalamannya berdagang sate sejak masih di kampung halaman, Kardi tetap menjalani profesinya itu setelah berada di Cimahi. Bermodal sepeda yang sudah dibawanya merantau ke Solo dan Malang, Kardi menjajakan satenya keliling Kota Cimahi pada tiap malam.
Dulu, sebelum tahun 2000, Kardi mengaku menjual satenya dengan harga Rp 50 per tusuknya. Saat itu, kata Kardi, “Harga ayam utuh satu ekor masih Rp 11 ribu-an.”
Sekarang, karena harga ayam sudah jauh melambung tinggi, hingga hampir menyentuh angka Rp 100 ribu per ekornya, Kardi mengaku tak bisa berbuat lain kecuali kasih harga Rp 2 ribu per satu tusuk satenya. “Kotor bisa pulang bawa uang Rp 600 ribu-an semalam dari jualan sate,” ujar Kardi.
Ketika ditanya: berapa laba bersih yang ia peroleh dari penghasilan kotor sebesar itu, Kardi hanya menjawabnya dengan tersenyum. Yang pasti, rezeki yang didapatnya itu telah menginspirasi sejumlah orang di kampungnya untuk ikut merantau ke Cimahi, dan menekuni profesi sama dengan Kardi, yakni berjualan sate di atas sepeda.
“Saya mungkin orang Madura pertama yang jualan (sate) pakai sepeda di Cimahi,” kata Kardi. Jauh sebelumnya, warga Kota Cimahi hanya tahu membeli sate dengan cara datang ke warung tenda atau rumah makan. “Setelah ada saya dan kawan-kawan, orang (Cimahi) cukup teriak di depan rumahnya,” cetus Kardi.
Alhasil, jadilah sate yang dijajakan Kardi, salah satu ikon kuliner malam di Cimahi, Kota Tentara. (*)