SUKABUMITREN.COM - Pemandangan mengenaskan kini terlihat setiap hari di Kampung Cigirang, Desa Neglasari, Kecamatan Lengkong, serta Kampung Pamoyanan, Desa Bantarpanjang, Kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi.
Sejak 15 Juni 2024 lalu, jembatan gantung yang melintang di atas Sungai Cikaso, dan menjadi jalan penghubung utama antara kedua kampung itu, putus separuh rangkaian tali bajanya. Pada tanggal itu, curah hujan turun dengan sangat tinggi, sehingga membuat Sungai Cikaso meluap, dan airnya menerjang jembatan tersebut.
Baca juga: Jalan Kabupaten Longsor, Aktivitas Warga di 2 Kecamatan dan 3 Desa di Sukabumi Terancam Lumpuh Total
Jembatan gantung berukuran panjang 30 meter dan lebar 1,70 meter itu, dibangun pada sekitar tahun 2018 lalu.
Akibat putusnya separuh rangkaian tali jembatan ini, membuat warga, pelajar, dan guru yang hendak beraktivitas pulang pergi antar kedua kampung pun harus bertarung nyawa, saat melintasi jembatan gantung itu.
Leni Sumarni, adalah salah satunya. Warga Kampung Pamoyanan ini setiap hari harus berangkat mengajar ke Sekolah Dasar Negeri Cibadak di Desa Neglasari. Leni pun mengaku terpaksa melintasi jembatan yang separuh putus itu dengan cara menggelantung, agar bisa tiba tepat waktu di sekolah tempatnya bertugas.
“Awalnya, saya gunakan akses jalan yang lain, yang membutuhkan perjalanan untuk pulang dan pergi mencapai tiga jam lebih. Tetapi, dengan perjalanan yang menyita waktu, materi, dan tenaga juga, maka saya memutuskan dengan hati berdebar melewati jembatan ini. Kalau lewat melalui jembatan ini, dari rumah ke tempat kerja saya (hanya butuh waktu sekitar) satu jam kurang,” tutur Leni, ketika ditemui di lokasi jembatan, Selasa, 23 Juli 2024.
Baca juga: Jalan Alternatif di Pasir Jati Sukabumi Longsor, Arus Lalulintas Caringin-Cibadak PP Dialihkan
Perempuan guru berusia 40 tahun ini mengungkapkan pula, akibat kondisi jembatan gantung yang tidak layak dilintasi itu, segala aktivitasnya sehari-hari menjadi sangat terganggu dan menyita waktu.
“Ya, tentu (terganggu). Soalnya, tidak bisa mengefektivitaskan waktu. Tetap melintasi (jembatan) ini, menghambat juga. Dari Kampung Cigirang ke Kampung Pamoyanan, ada yang sekolah non formal, ada madrasah Diniyah. Tetapi, untuk siswa SMP, SMA, SMK, dari kampung kami banyak. Bahkan, bukan hanya dari kampung kami, ada (juga) dari Desa Bantarpanjang, banyak menggunakan akses jalan ini,” keluh Leni, yang mengaku, meski hujan deras turun, dan air Sungai Cikaso meluap, ia tetap bekerja menjalankan tugasnya sebagai guru.
“Saya tetap kerja, apa pun kendalanya. Dulu, sebelum ada jembatan ini, jembatan ini dibangun tahun 2018 kalau tidak salah, saya menggunakan jembatan bambu. Ketika jembatan bambu itu tidak ada, maka saya dibikinin masyarakat sampan untuk melewatinya. Atau pun saya melewati air tersebut dengan melintas airnya sampai sedada,” ujar Leni.
Kini, dengan kondisi jembatan gantung yang tidak layak digunakan itu, Leni berharap kepada pihak terkait, agar segera melakukan perbaikan atas jembatan gantung tersebut.
“Harapannya, kepada siapa pun, khususnya institusi pemerintah, atau siapa pun yang merasa terketuk dengan kondisi kami, dengan murid kami, dengan masyarakat kami juga yang begitu banyak, segera untuk dibangun jembatan ini, dengan pembangunan begitu layak dan bagus dari sebelumnya,” kata Leni.
Tak berbeda dengan Leni, keluhan atas kondisi jembatan gantung itu juga diutarakan Putri, siswi kelas 5 Sekolah Dasar Negeri Cibadak. Bersama teman-temannya dari kelas 2 dan 5, bocah perempuan berusia 12 tahun ini setiap hari terpaksa harus bergelantungan melintasi jembatan gantung itu, agar bisa sampai di sekolahnya.
“Mau sekolah Madrasah Diniyah. Ya gitu, pegangan lewat gelantungan,” ujar Putri, saat ditemui di lokasi jembatan, Selasa, 23 Juli 2024.
Bilamana cuaca buruk dan hujan turun, demi keselamatan dirinya, Putri bersama teman-temannya, mengaku terpaksa meliburkan diri.
"Takut, tidak berani. Kata guru, jangan berangkat sekolah, takut tidak bisa pulang, nanti hanyut,” kata Putri.
Namun, saat kondisi cuaca cukup bersahabat, dan air Sungai Cikaso surut, Putri bersama teman-temannya tidak khawatir berangkat ke sekolah.
“Kalau cuaca begini, berani,” ucap Putri. (*)